INFORMASI: Anambaspos.com kini menjadi Anambaspos.co.id

Heboh Upah Minimum RI Ketinggian, Kemenaker Buka Suara

Heboh Upah Minimum RI Ketinggian, Kemenaker Buka Suara
Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja, Dita Indah Sari. - Foto: Istimewa.

JAKARTA, AnambasPos.com – Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) buka suara soal heboh upah minimum Republik Indonesia disebut terlalu tinggi. Awalnya, pernyataan soal upah minimum ketinggian diungkapkan oleh Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah.

Pernyataan tersebut jadi heboh di media sosial dan warganet banyak yang memprotes pernyataan tersebut. Banyak warganet yang mengatakan upah minimum saat ini justru masih terlalu rendah.

Staf Khusus Menaker Dita Indah Sari menjelaskan pernyataan Menaker tersebut menyebutkan upah minimum terlalu tinggi komparasi atau perbandingannya adalah nilai produktivitas tenaga kerja di Indonesia.

BACA JUGA  Menaker Sebut Perusahaan yang tak Daftarkan BPJS TK, Perlu Disanksi Pidana

“Jadi begini, ketika Ibu (Menaker) mengatakan upah minimum yang ada ketinggian, itu bukan menganggap bahwa pekerja itu sah pekerja mendapatkan upah lebih rendah. Ketinggian itu, komparasinya kalau dilihat dari nilai produktivitas, produktivitas kan kemampuan kita bekerja efektif dan efisien,” ujar Dita di Jakarta, seperti dilansir Beritasatu.com, Jumat (19/11/2021).

Dita menyebutkan nilai produktivitas tenaga kerja di Indonesia sebetulnya masih cenderung rendah dibandingkan dengan upahnya. Dia mengatakan nilai efektivitas tenaga kerja di Indonesia itu masuk ke dalam urutan ke-13 di Asia.

“Baik jam kerjanya, maupun tenaga kerjanya, ini umum secara nasional. Komparasinya ketinggian itu dengan itu, bukan berarti semua orang layak dikasih gaji kecil,” ungkap Dita.

BACA JUGA  Angin Segar Bagi PMI di Negeri Jiran Bakal Digaji di Atas UMR Malaysia

Datanya, menurut Dita dari sisi jam kerja saja, di Indonesia sudah terlalu banyak hari libur bagi pekerja. Bila dibandingkan dengan negara Asia Tenggara saja, jumlah hari libur di Indonesia masih terlalu banyak.

“Dari segi jam kerja dan jumlah libur kita ini gede, banyak,” tutur Dita.

Sebagai contoh bila dibandingkan dengan Thailand saja, jam kerja di Indonesia lebih sedikit di tiap minggunya. Di Thailand dalam seminggu jam kerja mencapai 42-44 jam, sementara di Indonesia hanya 40 jam.

Untuk hari libur, di Indonesia dalam setahun ada 20 hari libur. Jumlah itu belum ditambah beragam cuti, mulai dari cuti bersama, cuti tahunan, cuti kelahiran anak, cuti khitanan, cuti menikah hingga cuti keluarga meninggal. Sementara itu, di Thailand setahunnya hanya kurang lebih 15 hari libur saja.

BACA JUGA  Menaker Ida Fauziyah: Arab Saudi Butuh 20.000 Tenaga Perawat dari Indonesia

Dengan semakin sedikitnya jam kerja, menurut Dita, output atau hasil kerja yang dilakukan tenaga kerja di Indonesia pun menjadi minim sehingga nilai produktivitas pun jadi rendah.

“Komparasinya itu di situ, karena nilai jam kerja jadi lebih sedikit, makanya upah itu ketinggian nggak sesuai dengan produktivitas jam kerja dan efektivitas tenaga kerja. Artinya kalau upah nggak cocok dengan output-nya kesimpulannya upah kita terlalu tinggi,” jelas Dita.

Lebih lanjut dia mengatakan sejumlah data membuktikan nilai produktivitas tenaga kerja di Indonesia memang rendah. Di Thailand, poinnya mencapai 30,9, sedangkan di Indonesia hanya 23,9.

BACA JUGA  Menaker Kemukakan Strategi RI Lindungi dan Perdayakan Pekerja Migran di forum ADD

Bila bicara nominalnya, Dita juga mengatakan upah minimum di Indonesia terlalu tinggi. Di Thailand dengan nilai produktivitas 30,9 poin upah minimumnya mencapai Rp 4.104.475, upah minimum itu diberlakukan di Phuket. Sementara itu di Indonesia, dengan upah minimum di Jakarta mencapai Rp 4.453.724, padahal nilai produktivitasnya cuma mencapai 23,9 poin saja.

Sebagai informasi upah minimum Jakarta yang dimaksud adalah simulasi terakhir dari Kemenaker dan BPS upah minimum di tahun 2022. Dalam simulasi itu upah minimum naik 1,09% secara nasional, Jakarta menjadi provinsi dengan upah minimum tertinggi.

 


Terhubung dengan kami