EDITORIAL – Tong kosong nyaring bunyinya, begitulah pepatah mengatakan. Semakin nyaring suara yang ditimbulkan dari sebuah tong yang dipalu, semakin jelas bahwa tong tersebut tak ada isinya. Pepatah lama ini mengirimkan pesan bahwa, orang yang semakin banyak bualnya, semakin banyak tipunya. Semakin lantang suara untuk mencari pembenaran atas dirinya, semakin tak rasional pikirannya. Kebanyakan sosialisasi, kebanyakan cakap. Kebanyakan cakap, kebanyakan bohongnya. (Gurindam 12 pasal ke – 7: Apabila banyak berkata – kata, di situlah jalan masuk dusta).
Penyakit tong kosong nyaring bunyinya itu kini berpotensi diderita oleh para paslon yang mengikuti setiap kontestasi pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak secara nasional. Demi untuk meraih simpati masyarakat pemilih, kata demi kata dirangkai sedemikian rupa menjadi janji – janji manis. Banyak cakap minim eksekusi. Padahal, nanti setelah terpilih, manisnya janji – janji itu berubah menjadi pil pahit yang terpaksa ditelan oleh masyarakat. Malah, buah manisnya, hanya dinikmati oleh sekelompok orang. Orang- orang terdekat, orang – orang se- ideologi dan orang- orang spesialis, yakni spesialis pengampu. (Para Penjilat di Pusaran Kekuasaan: Sabili. id, edisi 12 September 2024).
Sialnya, penyakit tong kosong nyaring bunyinya ini pun rupanya menjadi penyakit menular. Suspecnya adalah para pendukung paslon pilkada. Ramai- ramai para pendukung melakukan debat kusir di medsos. Debat tanpa metode ilmiah tidak memiliki legal standing –nya, miskin data dan fakta. Tendensius dan bahkan cenderung emosional. Tidak jarang ada pula yang main fisik. Mengancam, hingga mengajak berkelahi. Selain itu, jurus fitnah, menghasut, menghujat, menjelek- jelekan. Semakin memperjelas ketidak rasionalan pikirannya, (Kompas. com, edisi 1Maret 2018: Fenomena Pendukung Panatik di Medsos dan Hilangnya Akal Sehat).
Melihat penomena ini, usulan perlu disampaikam kepada pihak penyelenggara pemilihan agar membuat satu sistim pengawasan yang tepat agar tidak terjadinya konflik horizontal di tengah masyarakat di setap momentum politik pilkada. Bawaslu, jangan hanya manggut- manggut saja setiap ada laporan dugaan pelanggaran. Setelah itu mengeluarkan surat yang bunyinya, ‘tidak ada pelanggaran.’ Ada keramaian, tidak mengirimkan petugas di lapangan, alasannya tidak ada pemberitahuan. Yah, mana ada penjahat mengumumkan aksi kejahatannya pak bos, ‘agak lain’. Ha ha! (Andi Agung Bantah Ada Kampanye di Engku Putri, Bawaslu Kepri Belum Terima Laporan)
Kembali ke laptop!. Faktor mana yang lebih penting antara sosialisasi dengan konsolidasi? Dua faktor ini saling berpautan dalam sebuah setrategi pergerakan. Sosialisasi diperlukan agar tingkat pengenalan masyarakat terhadap calon lebih kuat. Sosilisasi juga diperlukan untuk lebih kuat memberikan pemahaman masyarakat akan visi dan misi yang dimiliki para paslon. Sosialisasi juga berfungsi sebagaI ajang silaturrahmi antara para paslon dengan masyarakat. (jam berita. com, edisi 14 April 2022: Manajemen Isu dan Konsolidasi Gerakan).
Akan tetapi jangan lupa, sosialisasi yang tidak disertai dengan penguatan konsolidasi, rasa- rasanya sulit untuk mencapai hasil yang signifikan. Konsolidasi lebih menitikberatkan pada tim pemenangan, tim penggerak, tim relawan, tokoh- tokoh simpul yang ada di tengah masyarakat. Ada rumus tersendiri yang mesti ditemukan oleh paslon agar tim tersebut tetap solid dan bekerja all out. Jangan sampai antara sosialisasi dan konsolidasi tidak seimbang. Karena sibuk bersosialisasi, lupa untuk berkonsolidasi. “Melesat Sosialisasi Ngadat Konsolidasi. Ga bahaya ta ?
Apapun itu, pilkada adalah momentum untuk sebuah perubahan dan pembaharuan. Berubah dari yang tidak baik menjadi baik. Berubah dari yang baik menjadi lebih baik. Pemimpin yang bersaing, orientasi idealnya adalah menjadi pemimpin yang bertumbuh. Mampu menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran serta menegakkan keadilan. Menjadi tauladan dan melahirkan regenerasi kepemimpinan. Begitu juga sebagai masyarakat pendukung, harus mampu meningkatkan kecerdasan, membaca peluang untuk pengembangan potensi diri.