EDITORIAL – Mana lebih penting Pilkada damai atau Pilkada adil?. Pertanyaan itu sepertinya sangat perlu dimunculkan ke permukaan. Sebab, Pilkada damai, berada di hilir dari sebuah tahapan proses Pilkada. Sedangkan Pilkada adil, berada di hulu. Mengapa begitu?. Karena, mana mungkin akan ada damai, sepanjang tidak didahulukan dengan praktek keadilan dalam sebuah proses. (Aliansi Indonesia Damai : Kedamaian hanya tercipta jika ada keadilan)
Dahulu, kita sangat akrab dengan azas Pemilu Luber dan Jurdil (Langsung Umum Bebas, Rahasia. Jujur dan adil). Seiring perubahan, azas itu tidak lagi dipakai. Padahal, rasa- rasanya, azas itu ebih tepat untuk diterapkan dalam sebuah proses Pilkada saat ini untuk kemudian menjadi norma yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak.
Lantas bagaimana dengan kondisi saat ini?. Pilkada damai, digagas oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara Pilkada. Di awal tahapan, seluruh stakeholder diajak bersama- sama menandatangani kesepakatan Pilkda damai. Dari mulai KPU, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Aparat Penegak Hukum, Pemerintah, Organisasi kemasyarakatan (Ormas), Organisasi Kepemudaan (OKP),
Paguyuban, dan Kelompok- kelompok masyarakat lainnya. Seolah, masyarakat ‘dipaksa ‘ untuk menyepakati Pilkada damai itu tanpa adanya jaminan keadilan dalam tahapan tahapan lainnya.
Misalnya, dugaan praktik money politic (politik uang), politik sembako, politik bansos, politik relasi kekuasaan, politik oligarki dan beberapa aksi politik curang lainnya yang terjadi dalam proses penggalangan dukungan oleh paslon, tidak dilakukan tindakan pengawasan dan penegakan hukum yang maksimal. Pihak Bawaslu, selalu berdalih tidak adanya laporan atau terlebih dahulu menunggu adanya laporan dari masyarakat terkait dugaan paraktik money politic di lapangan.
Bahkan, jika ada masyarakat yang melaporkan, pihak Bawaslu dalam hal ini Gakumdu, selalu beralasan, bahwa laporan yang disampaikan oleh masyarakat tersebut tidak dapat diproses hukum lebih lanjut, karena tidak terpenuhinya persyaratan formil. Meskipun sudah ada keterangan awal sebagai pintu masuk untuk melakukan pendalaman kasus. (Bawaslu Jawa Timur: Lima Jenis Pelanggaran Pilkada yang Sering Terjadi).
Melihat fenomena itu, masih relevankah penggunaan selogan Pilkada damai dipakai? Mengapa tidak diganti dengan Pilkada adil?. Artinya, Pilkada damai itu lebih tertuju pada masyarakat, bukan untuk penyelenggara dan pemerintah, serta penegak hukum. Masyarakat seolah digiring untuk berdamai dan menerima apapun yang berlaku. Sedangkan dugaan pelanggaran hukum Pilkada tidak ditegakkan seadil- adilnya. (DKPP RI: Penegakan Hukum Kunci Pilkada Berkualitas).
Bagaimana proses tahapan Pilkada yang adil dapat diwujudkan?.Jawabannya ada pada pihak penyelenggara Pilkda yakni KPU dan Bawaslu, Begitu juga pemerintah, baik pusat maupun daerah. Jika tahapan dijalankan secara adil sesuai dengan aturan main yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait Pilkada,, tentunya masyarakat akan menerima hasil akhirnya dengan lapang dada. Pilkada pun dapat berlangsung secara damai, tanpa konplik. Dengan demikian subtansi Pilkada melahirkan pemimpin yang kompeten dan berintegritas dapat tercapai.