Oleh : Andry Wijayanto, S.FiL.I
(Pengajar di SMP Negeri 4 Dusun dan Wakil Ketua PDPM Muhammadiyah Bidang Komunikasi dan Informasi Kabupaten Kepulauan Anambas)
Dalam dunia olahraga ada semboyan yang popular di masyarakat kita Mens Sana In Corpore Sano (di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat). Semboyan ini sejak lama tersohor sebagai bagian ajakan hidup sehat.
Ujaran tersebut dalam bahasa Latin merupakan karya sastra seorang pujangga Romawi, Decimus Iunius Juvenalis, dalam karya bertajuk Satire X, sekitar abad kedua Masehi. (Baca Yudi Anugerah Nugtoho: Sejarah di Balik Semboyan Mens Sana In Cotpore Sano).
Ajakan yang sepertinya simplistis dan mudah untuk diterapkan. Namun persolannya apakah masyarakat kita sudah menyadarinya dalam pengertian lebih luas, yaitu dalam konteks berbangsa dan bernegara.
Indonesia adalah negara dengan beraneka ragam suku dan bahasa. Ditambah pula dengan jumlah penduduk yang menempati urutan terbesar ke-4 di dunia, dengan proyeksi mencapai 266,91 juta jiwa.
Menurut jenis kelamin, jumlah tersebut terdiri atas 134 juta jiwa laki-laki dan 132,89 juta jiwa perempuan. (Baca Databooks: Jumlah Penduduk Indonesia 2019).
Dari data jumlah penduduk dan keanekaragaman suku dan bahasa di atas, sesungguhnya Indonesia cukup memiliki modal untuk berkembang dan lebih maju dari negara-negara lain. Khususnya dalam bidang olahraga. Karena, kita akan dimudahkan mencari generasi penerus bangsa dalam bidang olahraga tersebut.
Namun masaalahnya, sudah sejauh mana tingkat kesadaran kita terhadap olahraga yang merupakan manifestasi dari cita-cita mulia dalam membangun bangsa (nasionalisme). Berikut, apakah oalahraga sudah ter-internalisasi dalam membangun pendidikan karakter peserta didik, sebagai pemegang estafet dikemudian hari.
Melihat persoalan di atas, rasa pesimisme menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindari. Karena masih banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di dunia pendidikan. Pada bulan Januari-Juni 2019 tercatat kasus kekerasan seksual di Sekolah Dasar (SD) mencapai 49 peserta baik laki-laki maupun perempuan di 9 Lokasi.
Di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) terjadi di 4 lokasi dengan korban mencapai 24 peserta didik dan mirisnyanya lagi bahwa pelaku lebih didominasi oleh oknum pendidik. (Baca Tempo.Co. Data KPAI; Kekerasan seksual di sekolah).
Sementara data lain sebagaimana dikatakan Hengki dari Kepolisian Resort (Polres) Metro Jakarta Pusat, banyak anak di bawah umur terlibat kriminal. Mulai dari penyalahgunaan narkoba, tawuran, pencurian, hingga prostitusi online.
Adapun dari 141 kasus kriminalitas jalanan, 122 tersangkanya adalah anak di bawah umur. Untuk kasus narkoba, bahkan pernah ditemukan 128.000 butir obat golongan IV di lingkungan sekolah. (Baca : Kompas.com – 14/03/2019).
Apalagi kejadian yang belum lama ini, yaitu kekecewaan oknum supporter sepak bola Indonesia yang berunjung pada aksi anarkis saat Tim Nasional Indonesia melawan Tim Nasional Malaysia. (Baca tribunnews.com: Kronologi Kerusuhan Indonesia vs Malyasia).
Tentunya ini, selain mencoreng nama baik bangsa di kancah dunia internasional dan menjadi preseden buruk bagi Pemerintah Indonesia, khususnya dalam bidang olahraga. Oleh karena itu, menjadi penting bagi kita generasi penerus bangsa untuk tidak serta merta berpangku tangan dan berdiam diri melihat persoalan-persoalan tersebut.
Setidaknya, ada beberapa hal yang dapat dijadikan langkah solusi dalam menghadapi persoalan tersebut. Pertama, olaharaga adalah pemersatu bangsa. Olahraga sebagai wadah yang paling ampuh saat ini, karena olahraga bisa diterima oleh semua kalangan. Tidak memandang usia. Muda atau pun tua. Laki-laki dan perempuan. Kalangan formal (pendidik) maupun informal (masyarakat umum).
Menurut (Cholik Mutohir, 2003: 86) olahraga adalah proses sistematik yang berupa segala kegiatan atau usaha yang dapat mendorong mengembangkan, dan membina potensi-potensi jasmaniah dan rohaniah seseorang, sebagai perorangan atau anggota masyarakat dalam bentuk permainan, perlombaan/pertandingan, dan prestasi puncak dalam pembentukan manusia Indonesia seutuhnya yang berkualitas berdasarkan Pancasila.
Hal serupa juga dikemukakan oleh Risjdrop dalam (Rusli Lutan. 1992:9), dimana olahraga mengandung sportivitas yang merupakan etika atau nilai moral yang sebenarnya bukan semata-mata terwujud dalam mentaati peraturan.
Dengan hal tersebut, diharapkan dalam dunia pendidikan tidak lagi memahami olahraga hanya sekedar aktifitas fisik ataupun gerak yang bersifat temporer. Namun lebih luas daripada itu, bahwa olahraga merupakan pendidkan multidimensi, yaitu berkaitan erat dengan pendidikan karakter dan menumbuhkan nilai-nilai yang dapat mempersatukan bangsa.
Kedua, olahraga sebagai pendidikan karakter. Jamak kita memahami bahwa pendidikan olahraga bertujuan untuk melahirkan sosok warga yang sportif, jujur, sehat. Bukan untuk melahirkan sosok warga yang bringas, sadis, brutal. Bukan pula untuk menciptakan sarana bisnis bagi spekulan, penjudi.
Olahraga seharusnya (das sollen) mendidik kita bersikap sportif, demokratis, jauh dari aksi kekerasan, tawuran, kerusuhan, keresahan. Jauh dari aksi premanisme. Jjauh dari judi dan politik uang.
Jadi dengan memahami tujuan pendidikan olahraga, kita sebagai genarasi penerus bangsa, sudah sepantasnya mulai melatih diri untuk tergerak dalam mendorong, membangkitkan, mengembangkan dan membina kekuatan-kekuatan jasmaniah maupun rohaniah pada setiap manusia.
Karena dengan ini akan melahirkan generasi penerus bangsa yang mempunyai karakter sesuai dengan harapan dan cita-cita bangsa (Baca Pendidikan Olahraga : http://tifani-cihuy.blogspot.co.id/).
Akhirnya, dengan wadah olahraga kita sebagai generasi penerus bangsa, tidak perlu skeptis dan berputus asa. Kita harus terus optimis dan perlu mendukung langkah-langkah terbaik untuk kemajuan olahraga.
Kita ingin bendera merah putih selalu berkibar di kancah kompetisi internasional, sebagaimana pertama kali Indonesia Raya dikumandangkan dan Merah Putih dikibarkan di pesta olahraga paling bergengsi Olimpiade Barcelona Spanyol tahun 1992.
Ketika itu kita mencapai prestasi puncak dengan meraih medali emas cabang olahraga Bulutangkis yang dipersembahkan oleh Alan Budi Kusuma dan Susi Susanti.
Begitu juga pada saat 17 Agustus 2016 di Pentas Olimpiade Rio De Janeiro, dimana sepasang anak bangsa Tantowi Ahmad dan Liliyana Natsir telah mempersembahkan medali emas untuk bangsa. Belum lagi ketika gelora bung karno bergemuruh terharu saat Tim Sepakbola Indonesia melawan Tim sepakbola ASEAN.
Alhasil, kemajuan bangsa terletak pada generasi penerus bangsa, yaitu generasi yang tidak lagi menggunakan aksi-aksi anarkis sebagai solusi dan tidak memanfaatkan energinya untuk hal-hal yang dapat merusa, seperti tindak kriminal ataupun menjerumuskan diri pada obat-obat terlarang (narkoba).
Sebaliknya, generasi penerus bangsa yang selalu mencintai dan mampu mengembalikan ruh dan spirit olahraga. Karena olahraga adalah bagian pendidikan nasionalisme. Semoga!