ANAMBAS, Anambaspos.co.id – Pagi itu, langit Desa Keramut tak hanya dihiasi mentari yang mengambang, tapi juga oleh doa-doa yang pelan-pelan terbang, menjangkau langit.
Matahari sudah menggeliat sempurna, memancarkan panas yang tak mengusik, hanya menghangatkan tubuh-tubuh penuh ikhlas yang bersiap membawa amanah.
Hari Jumat, 4 Juli 2025, menjadi hari yang lebih dari sekadar penyaluran bantuan. Ia adalah peristiwa kecil yang menyalakan harapan besar, terutama bagi mereka yang tinggal di rumah-rumah kayu, di kaki bukit, atau di tepi pantai tua yang menua bersama waktu.
Desa Keramut, desa tertua di Kecamatan Jemaja Barat, tak pernah kehilangan detak kemanusiaannya. Meski letaknya terpisah dan menjadi bagian dari wilayah terluar di Kabupaten Kepulauan Anambas, denyut solidaritasnya masih kuat terasa.
Hari itu, seperti banyak hari lain di tanah ini, adalah tentang memberi dan menemani.
Kepala Desa Markus membuka pagi dengan pengarahan yang singkat tapi sarat makna. Sembari duduk di kursi balik mejanya, ia berbicara tentang tanggung jawab, tentang makna menjadi pelayan masyarakat.
Di sisi lain, Ketua BPD memimpin doa. Suaranya tenang, nyaris lirih, namun cukup jelas untuk menuntun seluruh hadirin menunduk. Tak ada pengeras suara, hanya kesunyian yang mendengar dengan khusyuk.
“Semoga bantuan ini menjadi manfaat dan berkah,” lantun sang ketua.
Hari itu, agenda mereka sederhana, menyalurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa untuk bulan Juni dan Juli 2025.
Tapi cara mereka menyalurkan, dan siapa yang mereka temui itulah yang menjadikannya berbeda namun nyata.
“Ayo kita turun ke rumah-rumah. Jangan hanya menyerahkan, tapi juga temani mereka, dengar keluhannya, lihat keadaannya,” ajak Markus dengan wajah teduh.
Kata-kata itu tak perlu diperintah ulang. Para staf desa, perangkat dusun, dan juga Ketua BPD segera membagi tugas, membawa daftar 18 KPM (Keluarga Penerima Manfaat) dan uang tunai masing-masing Rp600.000 per orang.
Maria, Kasi Perencanaan, memastikan data, dokumen, dan jumlah uang klop. Ia pun melaporkan langsung kepada Kades Markus dengan suara jelas, “BLT bulan Juni dan Juli untuk 18 KPM siap disalurkan, Pak”, ucapnya.
Perjalanan pun dimulai. Mereka menyusuri jalan semen hasil dari program desa, menyambangi satu demi satu rumah warga yang merupakan KPM BLT Dd.
Rumah-rumah itu sederhana, rata rata berdinding papan dan telah dimakan usia. Tapi dari balik jendela kusam itu, senyum mengembang menyambut.
Di rumah pertama, seorang nenek usia 75 tahun duduk bersimpuh dengan baju lusuh membukus tubuhnya dan kerudung kepala yang menyembunyikan rambut putih itu. Matanya berkaca-kaca melihat perangkat desa datang membawakan bantuan.
“Terima kasih, Nak. Saya tak bisa kerja lagi. Mau beli beras dan minyak saja kadang harus tunggu anak pulang,” lirih nek Aniah, sambil menggenggam erat amplop yang diberikan.
BLT ini, yang bersumber dari Dana Desa APBDes Keramut 2025, bukan hanya angka dan administrasi. Ia menjelma menjadi bukti bahwa negara hadir, meski lewat telapak yang melintasi jalan selebar 2 meter. Ia menjadi simbol bahwa mereka yang tinggal jauh bukan berarti dilupakan.
Bukan hanya bantuan yang mereka bawa, tapi juga pengawasan. Ketua BPD berjalan bersama, mencatat, menyapa, bertanya langsung kepada para penerima. Ia ingin memastikan setiap sen disalurkan sebagaimana mestinya.
“Ini soal transparansi dan kepercayaan. Dana Desa adalah milik masyarakat. Kita tidak boleh main-main,” katanya.
Desa Keramut memang desa tua. Ia sudah melahirkan dua desa pemekaran. Tapi semangatnya tetap yang pertama, memberi, menjaga, dan membangun.
“Saya ingin bantuan ini bukan hanya sampai, tapi juga menyentuh,” ucap Markus, yang kembali berjalan menyusuri beberapa rumah, tak sungkan duduk bersila bersama lansia penerima BLT.
Ia tak ingin program ini menjadi sekadar formalitas tahunan. Ia ingin setiap langkah pengantaran BLT ini menjadi silaturahmi, menjadi catatan kecil tentang cinta yang dijalankan dalam bentuk paling sederhana untuk hadir.
Menjelang siang, 18 amplop sudah disampaikan. Peluh mulai membasahi kemeja. Tapi tak satu pun wajah yang letih. Mereka menyeka keringat dengan senyum. Di antara jalanan dan rumah-rumah kecil, telah tercatat sebuah peristiwa, bahwa desa sekecil Keramut mampu menghadirkan cinta dalam bentuk nyata.
Dan di langit tampak matahari mulai meninggi, azan sholat jum’at terasa akan berkumandang. Doa kembali mengalun. Mungkin kali ini bukan hanya dari Ketua BPD, tapi dari puluhan bibir tua yang baru saja menerima bantuan. Doa-doa itu menyusup ke langit, menyapa mentari dan berbisik pada angin. (*).