INFORMASI: Anambaspos.com kini menjadi Anambaspos.co.id

Ketidakmampuan Menulis, Iklan Kebodohan Diri Sendiri Oknum Wartawan (Tajuk Redaksi)

Ilustrasi (net)

Momentum Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 9 Februari 2020 tahun ini, sangat bijak jika dijadikan sebagai ajang untuk menakar, sudah sejauh mana kemampuan bagi oknum yang mengaku sebagai wartawan dalam menulis berita. Sebab, ketidakmampuan oknum wartawan dalam menulis berita dengan baik dan benar tersebut, sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Pokok Pers Nomor 40 Tahun 1999, akan menjadi bahan tertawaan publik. Apatah lagi, kalau oknum wartawan itu, dengan bangganya, berlagak sebagai ketua organisasi profesi wartawan tertentu.

Ketidaktahuan seorang yang mengaku dirinya bekerja sebagai oknum wartawan dalam menulis berita yang sesuai dengan kaidah jurnalistik, dapat membuat citra buruk dunia jurnalis. Selain itu, tanpa disadari bahwa dengan ketidakmampuan dan ketidakpahaman seorang yang mengaku oknum wartawan dalam menulis berita yang disajikan dan disebarluaskan ke publik itu, sama saja dia sedang meng-iklankan kebodohan dirinya sendiri secara terbuka ke khalayak ramai.

Biasanya, wartawan yang tidak punya kemapuan menulis, kerap kali menyajikan berita-berita yang sembarangan, asal tulis, memiliki ‘sentimentil’ terlalu fulgar, mengancam-ngancam pejabat. Hal itu dikarenakan dirinya, tidak dikenal luas oleh publik, sebab tidak pernah diketahu karakter dan bentuk tulisannya. Berita yang disajikan tidak mempunya bobot dan nilai tawar tinggi. Tidak mengerti bagaimana cara-cara mengemas berita yang menjadi layak tayang yang diperhitungkan. Meskipun sudah memiliki data-data pendukung.

Belum lagi, seorang wartawan media online saat ini yang sangat cepat penyebarluasannya, jika keliru melakukan penulisan berita, yang kemudian menjadi konsumsi publik secara luas, oknum wartawan tersebut, dapat berisiko pidana melanggar Undang-undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Seperti, Hoak (Berita bohong), Hate Speech (Ucapan Penghinaan atau kebencian) dan pidana lainnya. terkait itu, pihak Mabes Polri saat ini, tengah mempersiapkan derap MoU dengan Dewan Pers (DP) untuk membentuk Satgas Media. (Law Justice, edisi Senin, 11/02/2019).

Untuk itulah, mengapa saat ini DP sudah memberlakukan seorang wartawan harus memiliki Sertifikasi Kompetensi (Kompeten) melalui Uji Kompetensi Wartawan (UKW) atau Uji Kompetensi Jurnalis (UKJ) dan sejenisnya. Agar mengerti dan memahami esensi dari profesi jurnalis yang barometernya adalah bagaimana kemampuan seorang wartwan dalam menulis berita.(Peraturan  Dewan Pers No 1/2010, tanggal 2 Februari 2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan)

Jika tidak mau menyesuaikan diri, dalam waktu tidak terlalu lama lagi diperkirakan, pihak DP akan memberlakukan final, bahwa wartawan wajib memiliki setifikasi kompetensi (kompeten). Jika itu diberlakukan, maka akan banyak oknum wartawan yang menjadi pengangguran, karena kehilangan pekerjaan, yang selama ini mereka geluti sehari-hari dengan kebiasan buruk.

BACA JUGA  KKP Mengungkap Produk Perikanan Indonesia Diterima di 171 Negara

Tidak mau belajar menulis, tidak mengenal 5 W + 1 H, tidak mengenal mana Lead berita, tidak memahami Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Lebih parah lagi, tidak memahami etika dan kaidah penulisan. Tidak semudah membalikkan telapak tangan, menjadi wartawan yang berkemampuan menulis.

Perlu proses dan pengalaman profesionalisme yang panjang dan kontinyu. Ini bukan profesi kaleng-kaleng yang hanya bermodalkan petantang petenteng. Sebelum terlambat dan menjadi penyesalan panjang dikemudian hari. Maka ‘bertaubatlah’ wahai teman-teman oknum wartawan, yang belum bekerja sesuai dengan profesionalisme seorang wartawan.

Redaksi 


Terhubung dengan kami